'Lengking Burung Kasuari' dan Nostalgia Anak-anak


Goodreads: Lengking Burung Kasuari

Judul: Lengking Burung Kasuari
Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Editor: Sasa
Desain Sampul/Isi: Fauzi Fahmi/Nur Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2017
Halaman: 224 hlm
ISBN: 9786020339825
Penghargaan: Pemenang Unggulan Sayembara Novel DKJ 2016
Rating-ku: 🌟🌟🌟🌟/4 dari 5 🌟

Blurb:
“Tukang potong kep sedang mencari kepala anak-anak.”
Aku bergeming. Tak merasa perlu gemetar seperti ketika pertama kali mengetahui kep itu artinya apa. “Ah, yang macam beginian cuma cerita omong kosong saja,” aku menyahut begitu dengan nada tak acuh.
Sendy jadi tersinggung. Ia mendelik, mengangkat kepalanya, dan memelototiku, “Baik, kalau tidak percaya. Coba saja kalau tidak percaya. Lihat akibatnya nanti.”
“Jembatannya sudah jadi. Tidak perlu lagi kepala anak-anak,” aku menantangnya.
“Perlu kepala anak-anak,” Sendy ngotot. “Tetap perlu.”
“Mau ditanam di mana lagi?”
“Di bawah jembatan. Memang mau di mana lagi?”
“Kenapa mau tidak takut sama dia?” tanyaku. “Kamu anak-anak juga, sama seperti aku.”
“Tidak sama. Tukang potong kep suka kepala anak-anak berambut lurus.”

First Impression
Aku hampir meninggalkan tokbuk Gramedia Kediri dengan tangan kosong hari itu. Sewaktu aku lewat di deretan dekat pintu keluar dan melihat buku ini, mataku langsung tertuju pada pojok kiri atas. Terdapat logo Pemenang Unggulan Novel DKJ 2017. Dengan semakin banyaknya buku-buku baru yang terbit, aku justru sering bingung untuk membeli mana yang worth to read, worth to spend. Akhirnya pilihanku jatuh pada buku-buku berlogo ini. Begitu aku baca blurb di atas, tentu saja aku hanya bisa membawanya menghampiri meja kasir.

Sekilas cerita buku ini benar-benar membawaku ke masa anak-anak, saat aku masih suka main masak-masakan, siang-siang ketika terik matahari panas, menolak perintah ibuk tidur siang. Bermain tak kenal waktu. Dan juga tukang potong kep. Sementara di daerahku punya julukan sendiri, tukang pek (Bhs. Jawa: ‘pek’ artinya memiliki/merebut/culik). Nah, enggak dinyana sebutannya mirip banget, cuma dibalik. Jadi, setiap kali dulu aku ngotot main terus di halaman rumah siang-siang. Pasti diancam dengan, “Nanti kamu digondol sama tukang pek, diikat, dimasukan ke dalam karung dan enggak bisa kembali ke rumah.

Penggambaran tukang potong kep di Lengking Burung Kasuari pun mirip banget. Menceritakan kehidupan anak-anak dari keluarga tentara yang tinggal di kompleks perumahan dinas (begitu yang kutangkap), penulis mencoba menghadirkan konflik anak-anak, keluarga, masalah-masalah domestik, hingga politik di buku ini. Tidak melupakan sentuhan tentang kehidupan di tengah-tengah keberagaman, Nunuk Y. Kusmiana menghadirkan ritme hidup keluarga tentara Indonesia yang senantiasa bersinggungan dengan masalah yang ada di tahun 1970 ini, ketika Irian Jaya bergabung dengan Republik Indonesia.

Jadi, apakah benar ini cerita thriller anak-anak seperti yang digambarkan blurb?

The Title
Aku suka penggunaan kata ‘lengking’ dan ‘kasuari’ di sini. Burung kasuari sendiri juga menjadi salah satu simbol daerah Irian karena termasuk daerah habitatnya, sehingga mewakili benar seting cerita. Di dalam cerita terdapat satu burung kasuari yang selalu menakut-nakuti Asih, tokoh utama kita. Hm, terdengar seperti simbolisasi kehidupan Asih yang baru pindah dari Jawa ke Irian, yang membuat Asih dan keluarganya mengalami dan menghadapi banyak permasalahan. 

The Cover
Ilustrasi di sampulnya menarik banget. Seperti buku dongeng anak-anak. Terkesan anak-anak sekali ya, meskipun cerita di dalamnya benar-benar luas dan melibatkan banyak konflik menarik.

The Story Idea
Ide cerita penulis menghadirkan kehidupan di tanah Irian lewat pengamatan seorang anak-anak ini memperhalus informasi berbau historis, permasalahan pelik politik, lika-liku rumah tangga dengan halus. Cara ini memperhalus semua hal yang bisa 180 derajat pelik dan sulit dipahami karena memuat nilai sejarah. Selain itu, kita tidak bosan dengan sejarah yang disampaikan karena dibalut dengan cerita anak-anak.

Plot & POV
Alur ceritanya maju dengan sudut pandang orang pertama dari tokoh utama bernama Asih. Bagian ini sangat menarik perhatianku dan membuatku enggak tahan untuk mencatat kritik. Beberapa hal yang menurutku justru membuat kesan sudut pandang anak-anaknya berkurang adalah beberapa kata dan pemikiran, dan cara penuturan yang kurang terkesan anak-anak karena penggunaan diksinya dan penggambaran ceritanya. 

“Aku kelas dua. Umurku delapan tahun. Kalau kamu kelas satu, berarti kamu tujuh tahun. Aku sekolah di SD Paulus...” – hlm. 5 (dialog Sendy kepada Asih)

Kosakata bahasa Indonesiaku masih terbatas. Meski mampu menyerap cukup banyak kata—seperti makan, minum, sampai mengingat angka-angka, satu, dua, tiga, dan seterusnya—hanya dalam waktu setengah bulan, tapi kata parang tak termasuk di dalamnya. – hlm. 19

Asih, yang saat itu berusia 7 tahun, mengungkapkan dia belum begitu menguasai banyak kosa kata, namun sepanjang cerita cara bertuturnya sedikit terkesan seperti orang dewasa, terlebih penggunaan beberapa kata.

Karena itu, ia menjadi salah satu sniper terbaik di kesatuannya. – hlm. 31

Siang itu, di meja ruang tamu—meja yang juga multifungsi karena jadi tempat aku dan Tutik belajar dan juga jadi meja makan—Bapak tengah menikmati makan siangnya dengan lahap. – hlm. 31

Sejak saat itu hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. – hlm. 34

Suatu kali insiden kecil terjadi. – hlm. 49

Bonggo memang “cuma” di balik pantai di seberang sana. Namun, tak ada jalan darat ke sana. Dibutuhkan dua dekade lagi sebelum pemerintah membangun jalan provinsi menembus wilayah itu. – hlm. 60

“Oh, ya?” tambah Bapak. Ia tak terusik dengan interupsi itu. – hlm. 63

Ia ditinggalkan sendirian sekarang dan aku buru-buru kembali ke rumah dalam keadaan shock berat. – hlm. 74

Sementara itu juga, Asih menyatakan sendiri dia belum bisa lancar membaca. Bahkan Tutik, adik Asih yang masih di TK digambarkan lebih lancar membaca daripada Asih.

Bagaimanapun aku harus membaca semua dialognya kalau mau mendapatkan halaman yang benar. Aku belum lagi bisa membaca dengan lancar. – hlm. 143

Kami akhirnya berhasil menamatkan komik itu. Lebih tepatnya Tutik berhasil menamatkan komik itu. – hlm. 144

Nah, keterangan-keterangan ini kurasa melemahkan penjabaran cerita. Jika memang dia belum menguasai banyak kata dan membaca, dari mana kata-kata seperti itu bisa keluar dari penceritaannya? Sebagai pembaca aku merasa perlu diyakinkan bahwa karakter tersebut memang yang bercerita (terutama untuk sudut pandang orang pertama). Ini membuatku tidak merasakan kepolosan, keluguan, keacakan (random) dan keabstrakan cara berpikir anak-anak pada umumnya. Apakah karakter tersebut berada di kapasitasnya untuk bicara tentang segala hal di cerita? Kesan yang kuperoleh bahkan ini seperti penulis sedang menceritakan ulang pengalaman dan kenangannya semasa hidup di Irian lewat bungkus pov anak-anak tetapi tetap terasa dituturkan orang dewasa.

(Sementara itu, sebagai pembanding aku menggunakan buku Di Tanah Lada – Zezsyazeoviennazabrizkie yang juga menggunakan POV 1 anak-anak, bahkan usianya lebih kecil yaitu 6 tahun. Review Di Tanah Lada menyusul yaaa, hehehe).

The Characters
Asih adalah tokoh utama, dia anak pertama dan dua bersaudara. Ayahnya salah satu anggota kesatuan ABRI, sementara ibunya berasal dari Jawa yang memiliki semangat dagang yang sangat tinggi. Lalu ada Tutik yang pintar, adik Asih, yang dengan mengejutkan ternyata menyalip Asih dalam hal belajar di sekolah. Tutik yang tadinya diketahui hanya bersekolah TK, ternyata bersekolah di tempat lain dengan tingkat yang sama dengan kakaknya, kelas 2. Lalu ada Sendy, teman sepermainan Asih yang pintar dan pemberani, dia juga pemiliki burung kasuari yang sering dilihat Asih sewaktu bermain dan memanjat pohon kersen.

Karakter Asih ini lugu dan tidak bisa menolak orang lain, lebih sering didominasi oleh Sendy, bahkan adiknya Tutik. Lalu ada Tante Tamb, tetangga sebelah rumah yang sering memanfaatkan Asih untuk kepentingannya sendiri. Aduh, konflik antara Asih dan Tante Tamb ini bikin aku gemes banget.

Masalahnya, Asih diperlakukan kasar dan disuruh-suruh, dimanfaatkan tapi ibu Asih sama sekali kurang berusaha mengatasinya (entah kenapa). Asih dimintai ibunya untuk menjaga drum minyak tanah (dagangan ibu Asih, sementara ibu Asih berjualan di kedainya yang jauh dari rumah) di rumah. Tetapi, Tante Tamb menggunakan kesempatan itu untuk mengambil minyak tanah tanpa membayar sama sekali karena Asih hanyalah anak kecil. Lalu merembet ke bumbu-bumbu dapur, yang kita tahu harganya selangit dan langka di Irian Jaya.

Mungkin ibu Asih enggan mengonfrontasi langsung Tante Tamb karena pangkat ayah Asih masih di bawah pangkat suami Tante Tamb. Tapi si ibu Asih ini justru bersikap seolah dagangannya lebih penting daripada keadaan Asih yang terus menerus dimanfaatkan Tante Tamb. Beruntung ada Tante Bahar yang selalu mengawasi gerak-gerik mencurigakan Tante Tamb.

The First Act – 1/3 Part
Diawali dengan perkenalan Asih dengan Sendy, tetangga barunya dan tentang tukang potong kep. Konflik awal ibu dan bapak Asih tentang harga-harga barang dan susahnya mencari persediaan makanan, gaji yang tidak seberapa, keinginan ibu Asih untuk berdagang.

The Second Act – 2/3 Part
Persahabtan Asih-Sendy yang naik turun, kadang Sendy yang terlalu mendominasi Asih dan Asih yang pasrah-pasrah saja ikut bermain dan mengikuti apapun kata Sendy. Tante Tamb yang mengincar drum minyak tanah dan bumbu dapur di rumah Asih. Tukang potong kep yang belum muncul juga. Tutik yang ternyata lebih rajin daripada Asih (dia sekolah di dua tempat). Bapak Asih naik pangkat. Ibu Asih masih sibuk di kedai. Asih dan Tutik yang merasa kesepian tanpa sambutan orangtua sepulang sekolah. Ditambah Bapak Asih mulai dinas luar kota, tidak ada lagi dongeng sebelum tidur.

The Third Act – 3/3 Part
Akhir dari monopoli Tante Tamb terhadap Asih. Keluarga Asih melalui hal-hal sulit di awal kehidupan di Irian Jaya. Lengking kasuari yang tak lagi membuat Asih takut. Tukang potong kep muncul!!!

Best Quotes
Biarlah sesama ibu-ibu saling berurusan. – hlm. 52

Saat aksi Tante Tamb mengambili minyak tanah dan bumbu dapur, bapak dan ibu Asih sedikit berdebat tentang siapa yang harus mengatasi masalah ini. Bapak merasa itu tanggung jawab ibu, karena itu dagangan ibu. Sementara ibu ogah-ogahan menanggapinya. Aku sepertinya setuju dengan pendapat si bapak, apalagi ungkapan Asih di bawah ini. Karena masalah antara ibu-ibu kadang bisa jadi sangat rumit.

Writing Hacks From ‘Lengking Burung Kasuari’
Nah, untuk buku ini aku lebih fokus untuk sudut pandangnya. Point of view adalah modal awal untuk bercerita karena unsur itu yang menjadi bungkus besar sebuah cerita. Sudut pandang orang pertama artinya jarak pembaca dengan tokoh atau cerita sangat dekat, lebih dekat daripada sudut pandang orang ketiga. Nah, yang agak tricky dengan sudut pandang orang pertama adalah menempatkan posisi karakter berdiri dengan karakternya sendiri, bukan karakter penulis. Lebih sulit lagi jika kita mengambil sudut pandang seorang anak-anak. Apakah yang terungkap dari sudut pandang itu benar-benar terasa anak-anak? Itu tergantung bagaimana mengolah diksi dan pola pemikiran karakter selama cerita untuk bisa menegaskan dan membedakan karakter anak-anak dengan karakter lain yang lebih tua. Karena sudut pandang pertama lebih pada monolog dan isi pemikiran tokoh utama langsung.

Karya pertama Nunuk Y. Kusmiana ini menjadi salah satu novel dengan pov anak-anak dengan banyak hal kompleks di dalamnya. Satu di antara novel sastra bagus yang menyuguhkan hal kompleks dengan cara yang tidak membebani. 

IG @sofiadheril

‘Lengking Burung Kasuari’ membuka lagi nostalgiaku masa kecil, menghadirkan sepenggal kisah keluarga di tengah salah satu konflik paling bersejarah di Indonesia, dan menghadirkan keragaman baru pengetahuan tentang bagaimana penuturan cerita dari sudut pandang anak-anak. Banyak sekali yang dipelajari mulai dari pengetahuan baru tentang kehidupan keluarga tentara di Irian Jaya, hidup yang sangat beragam di sana dan cara menulis. Tidak heran jika menjadi pilihan Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Salam buah kersen,
Dheril Sofia

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

logophile • memorabilia of my adventure as a writer, a reader, a translator and a light seeker •

0 comments